Jumat, 07 Agustus 2009

Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai strategis?

Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.

Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.

Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:

1. Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. 

Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.

2. Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. 

Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.

3. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran. 

Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.

4. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. 

Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.

5. Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. 

Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. 

Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.

6. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan penggunaan dana. 

Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja. 

Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.

7. Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah. 

Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas.

8. Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat. 

Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar